Tugas Penulisan Softskill
Nama : Dinar Titah Sepdyandini
NPM : 22216086
Kelas : 1EB20
PENGARUH INFLASI TERHADAP PERKEMBANGAN EKONOMI
BAB
I
Pendahuluan
Untuk memenuhi tugas
penulisan pengantar bisnis kali ini saya akan menjelaskan ‘Pengaruh Inflasi
Terhadap Perkembangan Ekonomi Indonesia’. Seiring dengan perkembangan
zaman, masalah-masalah yang terjadi saat ini sangatlah kompleks. Sebuah Negara
tidak akan pernah bisa lepas dari berbagai macam masalah yang pastinya
berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang memiliki
jumlah penduduk yang tinggi seperti Indonesia. Masalah perekonomian sudah tidak
lazim di Indonesia salah satu contohnya adalah masalah ekonomi yaitu inflasi.
BAB
II
Isi
Pengertian Inflasi
sendiri adalah suatu keadaan perekonomian yang menunjukkan adanya kecenderungan
kenaikan tingkat harga secara umum (price
level). Dikatakan tingkat harga umum karena barang dan jasa yang ada
dipasaran mempunyai jumlah dan jenis yang sangat beragam, sebagian besar dari
harga-harga barang tersebut selalu meningkat dan mengakibatkan terjadinya
inflasi.
Secara historis,
tingkat dan volatilitas inflasi Indonesia lebih tinggi dibanding negara-negara
berkembang lain. Sementara negara-negara berkembang lain mengalami tingkat
inflasi antara 3% sampai 5% pada periode 2005-2014, Indonesia memiliki
rata-rata tingkat inflasi tahunan sekitar 8,5% dalam periode yang sama. Bagian
ini mendiskusikan mengapa tingkat inflasi Indonesia tinggi, menyediakan
analisis mengenai tren-tren terbaru, dan memberikan proyeksi untuk inflasi masa mendatang di
Indonesia yang merupakan negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara.
Puncak-puncak dalam
volatilitas inflasi Indonesia berkolerasi dengan penyesuaian harga-harga yang ditetapkan.
Harga-harga energi bahan bakar dan listrik ditetapkan oleh Pemerintah dan
karenanya tidak bergerak sesuai dengan kondisi pasar, berarti defisit yang
dihasilkannya harus diserap oleh Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Program yang berumur
beberapa dekade ini menempatkan tekanan yang serius pada neraca Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan juga membatasi belanja publik untuk
proyek-proyek berjangka panjang dan produktif, seperti pembangunan
infrastruktur atau pembangunan sosial. Institusi-institusi internasional
seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia mengkritik Pemerintah
Indonesia karena menyediakan bahan bakar dan listrik murah untuk para
penduduknya karena kebijakan ini menyebabkan kelemahan-kelemahan finansial terutama
karena Indonesia telah berubah menjadi importir minyak netto di tahun 2000-an,
membatasi investasi Pemerintah untuk sektor-sektor yang lebih produktif bahkan
bahan bakar yang murah mendukung penjualan mobil di negara ini dan karena
sebagian besar infrastrukturnya tidak layak maka kemacetan lalu lintas meningkat
di kota-kota besar Indonesia, mendistorsi perekonomian dengan menjaga harga
secara artifisial lebih rendah, dan terakhir kelas menengahlah yang paling
diuntungkan dari rendahnya harga bahan bakar, bukan segmen penduduk miskin
dalam masyarakat Indonesia yang menjadi sasaran.
Masyarakat Indonesia
menjadi kecanduan pada subsidi Pemerintah, terutama bahan bakar yang murah. Ini
berarti bahwa usaha-usaha untuk mengatur kembali subsidi energi
mengimplikasikan risiko-risiko politik untuk elit yang berkuasa karena kegelisahan
politik demonstrasi muncul yang disebabkan oleh ancaman dari tekanan inflasi
yang meningkat. Salah satu karakteristik Indonesia adalah sejumlah besar penduduk
termasuk dalam kelompok yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan, yang berarti bahwa kejutan inflasi yang relatif kecil bisa
mendorong mereka ke bawah garis kemiskinan itu. Contohnya, ketika Pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) memutuskan untuk mengurangi subsidi bahan
bakar secara besar-besaran di akhir 2005 dengan menaikan harga bahan bakar
bersubsidi lebih dari dua kali lipatnya karena tingginya harga minyak
internasional, tindakan ini segera menyebabkan tingkat inflasi dua angka antara
14% sampai 19% (year-on-year) sampai Oktober 2006. Lebih lanjut lagi, inflasi
inti negara ini - yang mengecualikan barang-barang yang rentan terhadap
volatilitas harga sementara - juga telah menjadi tidak stabil karena efek ronde
dua dari penyesuaian harga energi yang berlanjut ke perekonomian yang lebih
luas contohnya melalui kenaikan biaya-biaya transportasi.
- Tingkat Inflasi Indonesia (perubahan % tahunan pada indeks harga konsumen) pada tahun 2006-2014:
Namun, karena adanya kenaikan harga
di 2013, porsi yang signifikan dari harga bahan bakar Indonesia tetap
disubsidi, sementara kenaikan harga bahan bakar menuntut peningkatan
terus-menerus, dan karenanya Bank Dunia, IMF dan Kantor Dagang & Industri
Indonesia (Kadin) terus menekankan pentingnya menghentikan program ini. Setelah
Joko Widodo yang berpola pikir pembaharuan (reform-minded) memenangkan
pemilihan presiden dan dilantik sebagai presiden ke-7 Indonesia pada Oktober
2014, salah satu tindakan pertamanya adalah menaikan harga bahan bakar
bersubsidi. Premium dinaikkan dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 per liter,
sementara diesel dinaikkan dari Rp 5.500 menjadi Rp 7.500 per liter. Ini
berarti bahwa laju inflasi negara ini, yang telah mulai melambat menuju level
target Bank Indonesia pada 4,5%, tidak memiliki waktu untuk semakin pulih dan
berakselerasi kembali menjadi 8,4% pada akhir tahun 2014.
Pada
awal tahun 2015, Presiden Joko Widodo memiliki keuntungan karena harga minyak
mentah global telah turun dramatis sejak pertengahan 2014 karena lambatnya
permintaan global sedangkan suplai kuat karena angka-angka produksi minyak yang
terus-menerus tinggi di negara-negara OPEC dan revolusi gas shale AS.
Karenanya, Widodo memutuskan untuk melakukan tindakan yang berani. Dia pada
dasarnya menghapus subsidi premium dan menetapkan subsidi tetap sebesar Rp
1.000 per liter untuk diesel. Pemerintah Indonesia tetap menentukan harga bensin
dan diesel (disesuaikan setiap kuartalnya) namun harga akan berfluktuasi
sejalan dengan harga internasional. Meskipun begitu, karena harga minyak mentah
dunia agak pulih di pertengahan pertama tahun 2015, inflasi Indonesia tetap
tinggi di pertengahan 2015 dan hanya mulai menurun di akhir 2014. Bank
Indonesia tetap memprediksi inflasi 2015 sekitar 4% .
- Inflasi di Indonesia 2008-2015:
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
2015
|
Inflasi
(perubahan % tahunan) |
9.8
|
4.8
|
5.1
|
5.4
|
4.3
|
8.4
|
8.4
|
3.4
|
Target
Bank Indonesia
(perubahan % tahunan) |
5.0
|
4.5
|
5.0
|
5.0
|
4.5
|
4.5
|
4.5
|
4.0
|
Karakteristik tingkat
inflasi yang tidak stabil di Indonesia menyebabkan deviasi yang lebih besar
dibandingkan biasanya dari proyeksi inflasi tahunan oleh Bank Indonesia. Akibat
dari ketidakjelasan inflasi semacam ini adalah terciptanya biaya-biaya ekonomi,
seperti biaya peminjaman yang lebih tinggi di negara ini (domestik dan
internasional) dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Kurangnya kuantitas
dan kualitas infrastruktur di Indonesia juga mengakibatkan biaya-biaya ekonomi
yang tinggi. Hal ini menghambat konektivitas di negara kepulauan ini dan
karenanya meningkatkan biaya transportasi untuk jasa dan produk sehingga
membuat biaya logistik tinggi dan membuat iklim investasi negara ini menjadi
kurang menarik.
BAB
III
Penutup
Kesimpulan
Pada intinya tidak
semua inflasi berdampak negatif pada perekonomian. Terutama jika terjadi
inflasi ringan yaitu inflasi dibawah 10%. Inflasi ringan justru dapat mendorong
terjadinya pertumbuhan ekonomi. Hal ini karena inflasi mampu memberi semangat
pada pengusaha untuk dapat meningkatkan produksinya. Karena dengan demikian
pengusaha mendapat lebih banyak keuntungan dan menyediakan lapangan kerja baru.
Inflasi akan berdampak negatif jika nilainya melebihi 10%.
BAB
IV
Referensi
Endri. Analisis
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi DI Indonesia . jurnal
Ekonomi Pembangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar