Usaha kecil dan Menengah
Definisi
UKM
Usaha Kecil dan Menengah disingkat UKM adalah
sebuah istilah yang mengacu ke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih
paling banyak Rp 200.000.000 tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha. Dan usaha yang berdiri sendiri. Menurut Keputusan
Presiden RI no. 99 tahun 1998 pengertian Usaha Kecil adalah: “Kegiatan ekonomi
rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan
kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha
yang tidak sehat.”
Perkembangan
jumlah unit dan tenaga kerja di UKM
Tahun
1997-2001 jumlah unit usaha dari semua skala mengalami peningkatan sebesar
430.404 unit dari 39.767.207 unit tahun 1997, menjadi 40.197.611 unit tahun
2001. Secara parsial, kelompok unit usaha yang paling banyak adalah UK, yang
jumlahnya tahun 1997 sebesar 39,7 juta unit lebih dan tahun 2001 diperkirakan
mencapai 40 juta unit lebih. Saat krisis ekonomi mencapai klimaksnya pada tahun
1998, usha dari semua kategori mengalami pertumbuhan negatif, yang mana jumlah
UK sendiri berkurang hampir 3 juta unit atau pertumbuhan sekitar -7,4%.
sedangkan, UM dan UB mengalami pertumbuhan negatif lebih besar, yakni
masing-masing 14,2% dan 12,7%. Perbedaan ini mengidentifikasi bahwa UM dan UB
mengalami efek negatif lebih besar dibandingkan UK dari krisis ekonomi.
Jumlah unit UKM bervariasi menurut sektor,
dan terutama UK terkonsentrasi di pertanian, peternakan,kehutanan, dan
perikanan. Tahun 1997, jumlah UK di sektor tersebut tercatat 22.511.588 unit,
dan tahun 1998 jumlahnya meningkat menjadi 23.097.871 unit, atau tumbuh 2,6%
(dibandingkan UM yang tumbuh 1,2%) Variasi ini erat kaitanya dengan sifat
alamiah yang berbeda antarsektor, misal dalam aspek-aspek pasar (voleme,
struktur, dan sistem atau pola persaingan, perubahan harga, dan sistem
distribusi); ketersedian input, kebutuhan dan ketersediaan teknologi; SDM dan
modal; kebijakan sektoral dan ekonomi makro; dan bentuk serta tingkat
persaingan antara sesama UKM dan antara UKM dengan UB dan produk-produk impor.
Secara teori, perbedaan kinerja UKM di
sektor pertanian dengan kinerja UKM di sektor industri pengolahan dapat
dijelaskan dengan pendekatan analisis dari sisi penawaran dan sisi permintaan.
Dari sisi penawaran, UKM di sektor pertanian (atau usaha pertanian pada
umumnya) tidak mengalami supply bottleneck akibat depresi rupiah seperti yang
banyak dialami oleh UKM di sektor industri pengolahan. Alasan utamanya adalah
karena UKM di sektor pertanian tidak terlalu tergantung pada impor bahan baku
dan inputlainnya dan juga tidak pada kredit perbankan; sedangkan di sektor
industri pengolahan banyak sekali UKM yang memakai bahan baku, alat-alat
produksi dan input lainnya yang diimpor, serta yang membiayai produksinya
dengan pinjaman dari bank atau daru UB lewat program-program kemitraan usaha
yang dipelopori pemerintah pada zaman Soeharto. Selain itu, selama krisis
banyak orang yang di PHK di sektor industri pengolahan, kembali ke desa asalnya
dan membuka pertanian skala kecil, dan ini tentu menambah jumlah unit UKM di
sektor tersebut. Dari sisi permintaan,pasar domestik untuk komoditi-komoditi
pertanian tetap besar,sekalipun pada masa krisis karena orang tetap harus
makan; sementara pasar luar negeri semakin terbuka karena daya saing harga dari
komoditi-komoditi petanian di indonesia mengalami peningkatan pada saat nilai
tukar rupiah mengalami penurunan.
Nilai
output dan nilai tambah
Peran
UKM di Indonesia dalam bentuk kontribusi output terhadap pembentukan atau
pertumbuhan PDB cukup besar, walaupun tidak sebesar kontribusinya terhadap
penciptaan kesempatan kerja. Kontribusi NO atau NT terhadap pembentukan PDB
jauh lebih besar dibandingkan kontribusi dari UM. Akan tetapi, perbedaan ini
tidak dikarenakan tingkat produktivitas di UK lebih tinggi daripada di UM,
melainkan lebih didorong oleh jumlah unit dan L yang memang jauh lebih banyak
di UK dibandingkan di UM (dan UB).
Dari data BPS (statistik Indonesia 2001)
mengenai NO dan NT dari UK di sektor industri manufaktur menurut kelompok
industri (kode 31 s/d 39), ada beberapa hal yang menarik. pertama, NO atau NT
bervariasi menurut subsektor, dan yang paling banyak (seperti juga ditunjukan
oleh data dari sumber lain) yakni makanan, dan minuman, dan tembakau
(31),tekstil dan produk-produknya (TPT), dan kulit serta produk-produknya(32),
dan kaqyu beserta produk-produknya (33), yang memberi suatu kesan bahwa IK dan
IMI pada umumnya lebih unggul di ketiga subsektor itu dibandingkan di
subsektor-subsektor lainnya. Kedua, di beberapa kelompok industri seperti 31
dan 33, NO atau NT dari IMI lebih besar dibandingkan IK.
Sedangkan hasil SUSI (2000) menyajikan
data mengenai nilai produk bruto (NO), biaya antara, dan upah serta gaji dari
usaha tidak berbadan hukum. Dari selisih antara NO dan biaya antara, bisa
didapat suatu gambaran mengenai besarnya NT yang diciptakan oleh kelompok usaha
ini. Perdagangan besar,eceran, dan rumah makan serta jasa akomodasi merupakan
sektor dimana usaha tidak berbadan hukum menghasilkan NO paling besar; disusul
kemudian industri pengolahan. Disektor terakhir ini, NO dari IMI sedikit lebih
kecil dibandingkan NO yang diciptakan oleh Ik. Didalam SUSI 2000, NO dan
perhitungan NT-nya dari usaha tidak berbadan hukum juga di jabarkan menurut
wilayah.
Ekspor UKM
Pemerintah akan memberikan kemudahan bagi
industri dan usaha kecil menengah yang berorientasi ekspor. Pemerintah akan
mempermudah mereka mendapatkan bahan baku impor dan menyediakan agregator bagi
mereka. Para pelaku IKM dan UKM itu kerap mendapatkan bahan baku impor dalam
jumlah besar untuk produk-produk ekspor mereka. Hal itu terjadi karena modal
mereka terbatas. Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengemukakan, IKM dan UKM
menjadi penopang penting ekonomi setiap negara. Kendala yang dialami sektor
tersebut di setiap negara relatif sama, yaitu menjaga konsistensi volume dan
kualitas produk ekspor.
Prospekk
UKM dalam era perdagangan bebas dan globalisasi dunia
Bagi
setiap unit usaha dari semua skala dan di semua sektor ekonomi, era
perdagangan bebas dan globalisasi
perekonomian dunia di satu sisi akan menciptakan banyak kesempatan. Namun
disisi lain akan menciptakan bamyak tantangan yang apabila tidak dapat dihadapi
dengan baik akan menjelma menjadi ancaman. Bentuk kesempatan dan tantangan yang
akan muncul tentu akan berbeda menurut jenis kegiatan ekonomi yang berbeda.
Globalisasi perekonomian dunia juga memperbesar ketidakpastian terutama karena
semakin tingginya mobilisasi modal, manusia, dan sumber daya produksi lainnya
serta semakin terintegrasinya kegiatan produksi, investasi dan keuangan
antarnegara yang antara lain dapat menimbulkan gejolak-gejolak ekonomi di suatu
wilayah akibat pengaruh langsung dariketikstabilan ekonomi di wilayah lain.
1. Sifat Alami dari Keberadaan UKM
Laju pertumbuhan negatif dari jumlah UK
lebih kecil dibandingkan apa yang dialami oleh UM dan UB. Perbedaan ini disuatu
sisi memberi suatu kesan bahwa pada umumnya UK lebih “ tahan banting” dibandingkan
dua kelompok usaha lainnya itu dalam menghadapi suatu gejolak ekonomi. Relatif
lebih baiknya UK dibandingkan UM atau UB dalam menghadapi krisis ekonomi tahun
tahun 1998 tidak lepas dengan sifat alami dari keberadaan UM, apalagi UB di
indonesia. Sifat alami yang berbeda ini sangat penting untuk dipahami, agar
dapat memprediksi masa depan UK atau UKM.
Seperti dibanyak LCDs lainnya, UK di
Indonsia didominasi oleh unit-unit usaha tradisional, yang di satu sisi, dapat
di bangun dan beroperasi hanya dengan modal kerja dan modal investasi kecil dan
tanpa perlu menerapkan sistem organisasi dan manajemen modern yang kompleks dan
mahal, seperti di usaha-usaha modern (UB dan hingga tingkat tertentu UM), dan
di sisi lain, berbeda dengan UM, UK pada umumnya membuat barang-barang konsumsi
sederhana untuk kebutuhan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Untuk
membuat barang-barang tersebut, UK tidak terlalu memerlukan L dengan tingkat
pendidikan formal yang tinggi dan harus digaji mahal (tidak perlu memakai
seorang manajer dengan diploma MBA atau yang memiliki diploma sarjana ekonomi
atau seorang insinyur) dan tidak membutuhkan teknologi (T) canggih dalam bentuk
mesin-mesin dan alat-alat produksi modern, oleh karena itu, tidak mengherankan
bila melihat Indonesia adalah dari kelompok masyarakat berpendidikan rendah
(SD), dan kebanyakan dari mereka menggunakan mesin serta alat produksi
sederhana atau hasil rekayasa sendiri.
Implikasi dari sifat alami ini bebeda
dengan UM dan UB. UK sebenarnya tidak terlalu tergantung pada
fasilitas-fasilitas dari pemerintah termasuk skim-skim krdit murah. Banyak
studi yang menunjukan bahwa ketergantungan UK terhadap modal dari sumer-sumber
informal jauh lebih besar daripada terhadap kredit perbankan karena berbagai
alasan.
2. Kemampuan UKM
Dalam era perdagangan bebas dan
globalisasi perekonomian dunia, kemajuan T, penguasaan ilmu pengetahuan, dan
kualitas SDM yang tinggi (profesionalisme) merupakan tiga faktor keunggulan
kompetitif yang akan menjadi dominan dalam menentukan bagus tidaknya prospek
dari suatu usaha. Jika pengusaha kecil dan menengah Indonesia tidak memiliki
ketiga keunggulan kompetitif tersebut bahkan, UKM indonesia akan terancam
tergusur dari segmen pasarnya sendiri oleh produk-produk M dengan harga yang
lebih murah dan kualitas serta disain yang lebih baik, seperti yang terjadi
sekaarang dengan membanjirnya barang-barang dari Cina sampai kepasar-pasar
tradisional.
Pentingnya ketiga faktor keunggulan
kompetitif tersebut dikombinasikan dengan faktor-faktor kekuatan lainnya yang
sangat menentukan prospek UKM di masa depan. Didalam era perdagangan bebas dan
globalisasi perekonomian dunia, lingkungan eksternal domestik dipengaruhi oleh
tiga faktor penting, yang merupakan tiga tantangan yang dihadapi oleh setiap perusahaan
di Indonesia. Jika perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak siap,
tantangan-tantangan tersebut bisa berubah menjadi Empat ancaman.
Contoh
kasus
Jakarta | Wed, January 25, 2017 | 02:44 pm by: the
jakarta posthttp://www.thejakartapost.com/academia/2017/01/25/financing-still-troubles-small-businesses.html
Manufacturing is a priority economic sector
for Indonesia to promote inclusive growth. According to the Central Statistics
Agency (BPS), there are more than 3.6 million manufacturing units in Indonesia
that can be categorized as micro and small enterprises.
These small businesses are an important
source of employment and contribute significantly to the national output.
However, small enterprises often find it
difficult to access finance from banks and other formal financial institutions.
Many of them are unable to provide
collateral to secure loans, procedures are too complex for them, or the
administrative cost of serving them is too high for banks to consider them as a
profitable market.
The 2015 BPS survey of manufacturing micro
and small enterprises confirms that credit flowing to small enterprises is fairly
limited. For example, an overwhelming number of small enterprises (81.4
percent) use their own capital for investing. Among those who borrow, only 38
percent have bank loans. Overall, close to 39 percent of micro and small
enterprises consider access to finance a major constraint.
As the figures suggest, penetration of
formal credit to small enterprises in the manufacturing sector is fairly low.
While outreach of financial services appears to be low, it is important to ask
whether small businesses are indeed willing to borrow? In other words, what is
the real demand for credit among small enterprises? The answer to this question
is not necessarily simple.
The same BPS survey shows that around 51
percent of small manufacturers do not want take a loan from a bank. A lack of
collateral, high interest rates and complex procedures were cited as key
reasons for not borrowing from banks.
Micro credit program (KUR), the partial
loan guarantee of the government, offers credit at more attractive interest
rates for small enterprises, and up to a certain threshold of funds, collateral
is not required.
Although close to 37 percent of small
manufacturing enterprises that have a loan re-borrow under the KUR scheme, the
overall proportion of manufacturing enterprises accessing KUR financing is less
than 3 percent.
A large proportion of KUR loans is for
retail. That seems to the case for bank credit in general. Retail lending for
trade and consumption dominates the portfolio for all types of banks, whether
they are conventional banks, rural banks (BPRs) or even regional development
banks (BPDs) that have more of a development mandate.
Some may argue that the preponderance of
consumption loans mirrors the state of the economy, which is driven by domestic
consumption. Weak demand for loans in manufacturing would mean that financial
institutions could simply wait for demand to increase.
However, a counterargument to a
minimalistic role of financial institutions is to see if the banking industry
can play a more catalytic role in economic development.
Are there ways that credit can be channeled
to small businesses so that the financial institutions can tap the market of
small enterprises through innovative models to deliver services?
In the recent past, the policy response has
focused on borrowing rates for small businesses. The cost of borrowing does
matter for small businesses and, arguably, more so for enterprises engaged in
manufacturing, which, unlike trade or services, tends to have a longer turnover
period. A below-market rate can potentially lead to moral hazard, attracting
businesses that are not necessarily interested in investing, but want to
benefit from financial arbitrage.
Analisys:
Here it is important to add that the
presence of a large number of small enterprises does not necessarily indicate a
high level of entrepreneurship. Some studies have shown that “necessity
entrepreneurs” are less inclined to invest and actively seek growth
opportunities. These include people who are not able to find wage employment
and are often “forced” to start their own businesses. The challenge, therefore,
is to find growth-oriented small businesses that can benefit from various
credit schemes and deliver greater value.
In light of this, public institutions and
other development agencies can play an important role in addressing information
asymmetries and providing technical assistance.
A possible area is to help in understanding
real demand for the type of financial services needed by small-scale
manufacturers with high growth potential and to assist financial institutions
in designing appropriate loan products that match the needs of a large and
heterogeneous population of small manufacturing enterprises in Indonesia.