Selasa, 25 April 2017

Usaha kecil dan Menengah

Usaha kecil dan Menengah

Definisi UKM
Usaha Kecil dan Menengah disingkat UKM adalah sebuah istilah yang mengacu ke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Dan usaha yang berdiri sendiri. Menurut Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998 pengertian Usaha Kecil adalah: “Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.”
Perkembangan jumlah unit dan tenaga kerja di UKM
            Tahun 1997-2001 jumlah unit usaha dari semua skala mengalami peningkatan sebesar 430.404 unit dari 39.767.207 unit tahun 1997, menjadi 40.197.611 unit tahun 2001. Secara parsial, kelompok unit usaha yang paling banyak adalah UK, yang jumlahnya tahun 1997 sebesar 39,7 juta unit lebih dan tahun 2001 diperkirakan mencapai 40 juta unit lebih. Saat krisis ekonomi mencapai klimaksnya pada tahun 1998, usha dari semua kategori mengalami pertumbuhan negatif, yang mana jumlah UK sendiri berkurang hampir 3 juta unit atau pertumbuhan sekitar -7,4%. sedangkan, UM dan UB mengalami pertumbuhan negatif lebih besar, yakni masing-masing 14,2% dan 12,7%. Perbedaan ini mengidentifikasi bahwa UM dan UB mengalami efek negatif lebih besar dibandingkan UK dari krisis ekonomi.
Jumlah unit UKM bervariasi menurut sektor, dan terutama UK terkonsentrasi di pertanian, peternakan,kehutanan, dan perikanan. Tahun 1997, jumlah UK di sektor tersebut tercatat 22.511.588 unit, dan tahun 1998 jumlahnya meningkat menjadi 23.097.871 unit, atau tumbuh 2,6% (dibandingkan UM yang tumbuh 1,2%) Variasi ini erat kaitanya dengan sifat alamiah yang berbeda antarsektor, misal dalam aspek-aspek pasar (voleme, struktur, dan sistem atau pola persaingan, perubahan harga, dan sistem distribusi); ketersedian input, kebutuhan dan ketersediaan teknologi; SDM dan modal; kebijakan sektoral dan ekonomi makro; dan bentuk serta tingkat persaingan antara sesama UKM dan antara UKM dengan UB dan produk-produk impor.
Secara teori, perbedaan kinerja UKM di sektor pertanian dengan kinerja UKM di sektor industri pengolahan dapat dijelaskan dengan pendekatan analisis dari sisi penawaran dan sisi permintaan. Dari sisi penawaran, UKM di sektor pertanian (atau usaha pertanian pada umumnya) tidak mengalami supply bottleneck akibat depresi rupiah seperti yang banyak dialami oleh UKM di sektor industri pengolahan. Alasan utamanya adalah karena UKM di sektor pertanian tidak terlalu tergantung pada impor bahan baku dan inputlainnya dan juga tidak pada kredit perbankan; sedangkan di sektor industri pengolahan banyak sekali UKM yang memakai bahan baku, alat-alat produksi dan input lainnya yang diimpor, serta yang membiayai produksinya dengan pinjaman dari bank atau daru UB lewat program-program kemitraan usaha yang dipelopori pemerintah pada zaman Soeharto. Selain itu, selama krisis banyak orang yang di PHK di sektor industri pengolahan, kembali ke desa asalnya dan membuka pertanian skala kecil, dan ini tentu menambah jumlah unit UKM di sektor tersebut. Dari sisi permintaan,pasar domestik untuk komoditi-komoditi pertanian tetap besar,sekalipun pada masa krisis karena orang tetap harus makan; sementara pasar luar negeri semakin terbuka karena daya saing harga dari komoditi-komoditi petanian di indonesia mengalami peningkatan pada saat nilai tukar rupiah mengalami penurunan.
Nilai output dan nilai tambah 
            Peran UKM di Indonesia dalam bentuk kontribusi output terhadap pembentukan atau pertumbuhan PDB cukup besar, walaupun tidak sebesar kontribusinya terhadap penciptaan kesempatan kerja. Kontribusi NO atau NT terhadap pembentukan PDB jauh lebih besar dibandingkan kontribusi dari UM. Akan tetapi, perbedaan ini tidak dikarenakan tingkat produktivitas di UK lebih tinggi daripada di UM, melainkan lebih didorong oleh jumlah unit dan L yang memang jauh lebih banyak di UK dibandingkan di UM (dan UB).

Dari data BPS (statistik Indonesia 2001) mengenai NO dan NT dari UK di sektor industri manufaktur menurut kelompok industri (kode 31 s/d 39), ada beberapa hal yang menarik. pertama, NO atau NT bervariasi menurut subsektor, dan yang paling banyak (seperti juga ditunjukan oleh data dari sumber lain) yakni makanan, dan minuman, dan tembakau (31),tekstil dan produk-produknya (TPT), dan kulit serta produk-produknya(32), dan kaqyu beserta produk-produknya (33), yang memberi suatu kesan bahwa IK dan IMI pada umumnya lebih unggul di ketiga subsektor itu dibandingkan di subsektor-subsektor lainnya. Kedua, di beberapa kelompok industri seperti 31 dan 33, NO atau NT dari IMI lebih besar dibandingkan IK.

Sedangkan hasil SUSI (2000) menyajikan data mengenai nilai produk bruto (NO), biaya antara, dan upah serta gaji dari usaha tidak berbadan hukum. Dari selisih antara NO dan biaya antara, bisa didapat suatu gambaran mengenai besarnya NT yang diciptakan oleh kelompok usaha ini. Perdagangan besar,eceran, dan rumah makan serta jasa akomodasi merupakan sektor dimana usaha tidak berbadan hukum menghasilkan NO paling besar; disusul kemudian industri pengolahan. Disektor terakhir ini, NO dari IMI sedikit lebih kecil dibandingkan NO yang diciptakan oleh Ik. Didalam SUSI 2000, NO dan perhitungan NT-nya dari usaha tidak berbadan hukum juga di jabarkan menurut wilayah.
 Ekspor UKM
            Pemerintah akan memberikan kemudahan bagi industri dan usaha kecil menengah yang berorientasi ekspor. Pemerintah akan mempermudah mereka mendapatkan bahan baku impor dan menyediakan agregator bagi mereka. Para pelaku IKM dan UKM itu kerap mendapatkan bahan baku impor dalam jumlah besar untuk produk-produk ekspor mereka. Hal itu terjadi karena modal mereka terbatas. Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengemukakan, IKM dan UKM menjadi penopang penting ekonomi setiap negara. Kendala yang dialami sektor tersebut di setiap negara relatif sama, yaitu menjaga konsistensi volume dan kualitas produk ekspor.
Prospekk UKM dalam era perdagangan bebas dan globalisasi dunia
            Bagi setiap unit usaha dari semua skala dan di semua sektor ekonomi, era
perdagangan bebas dan globalisasi perekonomian dunia di satu sisi akan menciptakan banyak kesempatan. Namun disisi lain akan menciptakan bamyak tantangan yang apabila tidak dapat dihadapi dengan baik akan menjelma menjadi ancaman. Bentuk kesempatan dan tantangan yang akan muncul tentu akan berbeda menurut jenis kegiatan ekonomi yang berbeda. Globalisasi perekonomian dunia juga memperbesar ketidakpastian terutama karena semakin tingginya mobilisasi modal, manusia, dan sumber daya produksi lainnya serta semakin terintegrasinya kegiatan produksi, investasi dan keuangan antarnegara yang antara lain dapat menimbulkan gejolak-gejolak ekonomi di suatu wilayah akibat pengaruh langsung dariketikstabilan ekonomi di wilayah lain.

1. Sifat Alami dari Keberadaan UKM

Laju pertumbuhan negatif dari jumlah UK lebih kecil dibandingkan apa yang dialami oleh UM dan UB. Perbedaan ini disuatu sisi memberi suatu kesan bahwa pada umumnya UK lebih “ tahan banting” dibandingkan dua kelompok usaha lainnya itu dalam menghadapi suatu gejolak ekonomi. Relatif lebih baiknya UK dibandingkan UM atau UB dalam menghadapi krisis ekonomi tahun tahun 1998 tidak lepas dengan sifat alami dari keberadaan UM, apalagi UB di indonesia. Sifat alami yang berbeda ini sangat penting untuk dipahami, agar dapat memprediksi masa depan UK atau UKM.

Seperti dibanyak LCDs lainnya, UK di Indonsia didominasi oleh unit-unit usaha tradisional, yang di satu sisi, dapat di bangun dan beroperasi hanya dengan modal kerja dan modal investasi kecil dan tanpa perlu menerapkan sistem organisasi dan manajemen modern yang kompleks dan mahal, seperti di usaha-usaha modern (UB dan hingga tingkat tertentu UM), dan di sisi lain, berbeda dengan UM, UK pada umumnya membuat barang-barang konsumsi sederhana untuk kebutuhan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Untuk membuat barang-barang tersebut, UK tidak terlalu memerlukan L dengan tingkat pendidikan formal yang tinggi dan harus digaji mahal (tidak perlu memakai seorang manajer dengan diploma MBA atau yang memiliki diploma sarjana ekonomi atau seorang insinyur) dan tidak membutuhkan teknologi (T) canggih dalam bentuk mesin-mesin dan alat-alat produksi modern, oleh karena itu, tidak mengherankan bila melihat Indonesia adalah dari kelompok masyarakat berpendidikan rendah (SD), dan kebanyakan dari mereka menggunakan mesin serta alat produksi sederhana atau hasil rekayasa sendiri.

Implikasi dari sifat alami ini bebeda dengan UM dan UB. UK sebenarnya tidak terlalu tergantung pada fasilitas-fasilitas dari pemerintah termasuk skim-skim krdit murah. Banyak studi yang menunjukan bahwa ketergantungan UK terhadap modal dari sumer-sumber informal jauh lebih besar daripada terhadap kredit perbankan karena berbagai alasan.

2. Kemampuan UKM

Dalam era perdagangan bebas dan globalisasi perekonomian dunia, kemajuan T, penguasaan ilmu pengetahuan, dan kualitas SDM yang tinggi (profesionalisme) merupakan tiga faktor keunggulan kompetitif yang akan menjadi dominan dalam menentukan bagus tidaknya prospek dari suatu usaha. Jika pengusaha kecil dan menengah Indonesia tidak memiliki ketiga keunggulan kompetitif tersebut bahkan, UKM indonesia akan terancam tergusur dari segmen pasarnya sendiri oleh produk-produk M dengan harga yang lebih murah dan kualitas serta disain yang lebih baik, seperti yang terjadi sekaarang dengan membanjirnya barang-barang dari Cina sampai kepasar-pasar tradisional.

Pentingnya ketiga faktor keunggulan kompetitif tersebut dikombinasikan dengan faktor-faktor kekuatan lainnya yang sangat menentukan prospek UKM di masa depan. Didalam era perdagangan bebas dan globalisasi perekonomian dunia, lingkungan eksternal domestik dipengaruhi oleh tiga faktor penting, yang merupakan tiga tantangan yang dihadapi oleh setiap perusahaan di Indonesia. Jika perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak siap, tantangan-tantangan tersebut bisa berubah menjadi Empat ancaman.
Contoh kasus
Jakarta | Wed, January 25, 2017 | 02:44 pm by: the jakarta posthttp://www.thejakartapost.com/academia/2017/01/25/financing-still-troubles-small-businesses.html

Manufacturing is a priority economic sector for Indonesia to promote inclusive growth. According to the Central Statistics Agency (BPS), there are more than 3.6 million manufacturing units in Indonesia that can be categorized as micro and small enterprises.
These small businesses are an important source of employment and contribute significantly to the national output.
However, small enterprises often find it difficult to access finance from banks and other formal financial institutions.
Many of them are unable to provide collateral to secure loans, procedures are too complex for them, or the administrative cost of serving them is too high for banks to consider them as a profitable market.
The 2015 BPS survey of manufacturing micro and small enterprises confirms that credit flowing to small enterprises is fairly limited. For example, an overwhelming number of small enterprises (81.4 percent) use their own capital for investing. Among those who borrow, only 38 percent have bank loans. Overall, close to 39 percent of micro and small enterprises consider access to finance a major constraint.
As the figures suggest, penetration of formal credit to small enterprises in the manufacturing sector is fairly low. While outreach of financial services appears to be low, it is important to ask whether small businesses are indeed willing to borrow? In other words, what is the real demand for credit among small enterprises? The answer to this question is not necessarily simple.
The same BPS survey shows that around 51 percent of small manufacturers do not want take a loan from a bank. A lack of collateral, high interest rates and complex procedures were cited as key reasons for not borrowing from banks.
Micro credit program (KUR), the partial loan guarantee of the government, offers credit at more attractive interest rates for small enterprises, and up to a certain threshold of funds, collateral is not required.
Although close to 37 percent of small manufacturing enterprises that have a loan re-borrow under the KUR scheme, the overall proportion of manufacturing enterprises accessing KUR financing is less than 3 percent.
A large proportion of KUR loans is for retail. That seems to the case for bank credit in general. Retail lending for trade and consumption dominates the portfolio for all types of banks, whether they are conventional banks, rural banks (BPRs) or even regional development banks (BPDs) that have more of a development mandate.
Some may argue that the preponderance of consumption loans mirrors the state of the economy, which is driven by domestic consumption. Weak demand for loans in manufacturing would mean that financial institutions could simply wait for demand to increase.
However, a counterargument to a minimalistic role of financial institutions is to see if the banking industry can play a more catalytic role in economic development.
Are there ways that credit can be channeled to small businesses so that the financial institutions can tap the market of small enterprises through innovative models to deliver services?
In the recent past, the policy response has focused on borrowing rates for small businesses. The cost of borrowing does matter for small businesses and, arguably, more so for enterprises engaged in manufacturing, which, unlike trade or services, tends to have a longer turnover period. A below-market rate can potentially lead to moral hazard, attracting businesses that are not necessarily interested in investing, but want to benefit from financial arbitrage.
Analisys:
Here it is important to add that the presence of a large number of small enterprises does not necessarily indicate a high level of entrepreneurship. Some studies have shown that “necessity entrepreneurs” are less inclined to invest and actively seek growth opportunities. These include people who are not able to find wage employment and are often “forced” to start their own businesses. The challenge, therefore, is to find growth-oriented small businesses that can benefit from various credit schemes and deliver greater value.
In light of this, public institutions and other development agencies can play an important role in addressing information asymmetries and providing technical assistance.
A possible area is to help in understanding real demand for the type of financial services needed by small-scale manufacturers with high growth potential and to assist financial institutions in designing appropriate loan products that match the needs of a large and heterogeneous population of small manufacturing enterprises in Indonesia.


REFERENSI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

My Goals in 5 Years..

1. I managed to lose weight from 51 kg to 43 kg by dieting in 2017 2.  I managed to take part in the provincial physics olympiad (2014). I...